SEJARAH
PERS NASIONAL
9
Februari adalah hari pers nasional tapi tidak satupun peringatan yang diadakan
oleh pemerintah. Tidak sampai di situ, bahwa banyak kalangan sekarang tidak
mengetahui tentang sejarah pers Nasional. Padahal pada jaman perjuangan dulu
pers memainkan peranan yang sangat penting dan ikut andil dalam setiap
pergerakan bangsa untuk meraih kemerdekaan. Pers pada saat perjuangan
menyebarkan cita-cita mencapai kemerdekaan bagi bangsa kita. Memperkuat
cita-cita kesatuan bangsa dan persatuan bangsa Indonesia dan membangkitkan
semangat perjuangan agar bangsa bangkit dan menentang segala bentuk penjajahan.
Pers dimasa perjuangan menyerukan agar rakyat Indonesia bangkit dan bersatu
padu untuk menghadapi imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme Belanda.
Pers
di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa
beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja
(Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo
(melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting mengenai
kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang
wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta,
tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar
Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti
Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Di
bawah pimpinan Adam Malik, penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei. Berkat
usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi
pada bulan September 1945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat
mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Surat
kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit
pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal
Pers Nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat
pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan
Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha
penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan,
sampai akhirnya dicetak, disebar ke daerah-daerah yang terpencil.
Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan
dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di
Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat
kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping surat surat kabar yang
sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama atau berganti
nama.
Pers di zaman Penjajahan
Pada
tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619
menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang
ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar”
pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688,
tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi
pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor
perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan
Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar
yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa.
Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan. Tujuannya adalah Untuk
menegakkan penjajahan, menentang pergerakan rakyat, melancarkan perdagangan
Pada
tahun 1744 dilakukanlah percobaan pertama untuk menerbitkan media massa dengan
diterbitkannya surat kabar pertama pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van
Imhoff dengan nama Bataviasche Nouvelles, tetapi surat kabar ini hanya
mempunyai masa hidup selama dua tahun. Kemudian pada tahun 1828
diterbitkanlah Javasche Courant di Jakarta yang memuat berita-berita
resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di
Eropa. Mesin cetak pertama di Indonesia juga datang melalui Batavia (Jakarta)
melalui seorang Nederland bernama W. Bruining dari Rotterdam yang kemudian
menerbitkan surat kabar bernama Het Bataviasche Advertantie Blad yang
memuat iklan-iklan dan berita-berita umum yang dikutip dari penerbitan resmi di
Nederland (Staatscourant).
Di Surabaya
pada periode ini telah terbit Soerabajasch Advertantiebland yang
kemudian berganti menjadi Soerabajasch Niews en Advertantiebland. Di
Semarang terbit Semarangsche Advertetiebland dan De
Semarangsche Courant. Secara umum surat kabar-surat kabar yang muncul saat itu
tidak mempunyai arti secara politis karena cenderung pada iklan dari segi
konten. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar tiap harinya. Setiap
surat kabar yang beredar harulah melalui penyaringan oleh pihak pemerintahan
Gubernur Jenderal di Bogor. Surat kabar Belanda pun terbit di
daerah Sumatera dan Sulawesi. Di Padang terbit Soematra
Courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makasar (Ujung
Pandang) terbit Celebes Courant dan Makassarsch Handelsbland.
Pada
tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda telah terbit sekitar 16
surat kabar dalam bahasa Belanda dan 12 surat kabar dalam bahasa Melayu
seperti, Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di
Bogor), Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan
surat kabar berbahasa Jawa, Bromatani yang terbit di Solo.
Saat
Jepang menggantikan Belanda dalam menjajah, surat kabar yang beredar di
Indonesia diambil alih secara pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan
dengan alasan penghematan namun sebenarnya pemerintah Jepang memperketat
pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor Berita Antara diambil alih
dan diubah menjadi kantor berita Yashima dengan berpusat di Domei, Jepang.
Konten surat kabar dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk memuji-muji
pemerintahan Jepang. Wartawan Indonesia saat itu bekerja sebagai
pegawai sedang yang mempunyai kedudukan tinggi adalah orang-orang yang sengaja
didatangkan dari Jepang.
Masa
ini surat kabar yang ada di Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri
dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan
rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang
mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di
zaman pendudukan Jepang pers hanya merupakan alat kekuasaan Jepang.
Pers dari Era ke Era
1.
Era Demokrasi Parlementer
Era
1950-1959 adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan
konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini
berlangsung mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Pada masa ini
merupakan masa pemerintahan demokrasi liberal dan banyak didirikan partai
politik dalam rangka memperkuat system pemerintahan parlementer, pers dijadikan
alat propaganda parpol. Beberapa partai politik memiliki media/ Koran.
2.
Era Demokrasi Terpimpin
Pelaksanaan
demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pers
tunduk sepenuhya pada peraturan pemerintah, pers dimanfaatkan sebagai alat
revolusi dan penggerak masa. Pers yang tidak mendukung pemerintah akan
disingkirkan, dan aturan-aturan mengenai pers diperketat. Sehingga fungsi check
and balance terhadap penyelenggaraan negara oleh pemerintah tidak terjadi.
3.
Era Demokrasi Pancasila
Pada
awal mulai berjalannya Demokrasi Pancasila pers bisa mengikis dan memberitakan
kebobrokan orde lama namun hal itu tidak bertahan lama karena segera
dikendalikan oleh penguasa dengan dikeluarkannya UU no 11 tahun 1966 tentang
pokok-pokok pers. Pers diera pemerintahan Soeharto, kebebasan pers tetap ada,
tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun
keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik
(termasuk pers). Dibentuk dewan pers yang merupakan perpanjangan dari tangan
pemerintah orde baru. Pers diperketat pengawasannya, dan dibatasi oleh
kepentingan pemerintah.
4.
Era Reformasi
Pada
tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dan di gantikan wakil
presiden BJ Habibie. Di mulailah era reformasi yang membuka kesempatan bagi
pers Indonesia untuk mengeksplorasi kebebasan. Pers Nasional benar –
benar bebas mengkritik pemerintah dengan keras. Para buruh tinta sebagai
pemberi informasi kepada rakyat tidak takut-takut lagi pada pemerintah. Pers
masa ini menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar